Minggu, 06 Desember 2009

Pelemgede Tak Kalah Dengan Kotagede

Laki-laki yang berperawakan sedang, langsing, dan berkulit coklat itu masih tekun menjalani pekerjaaan yang sudah hampir 19 tahun dijalaninya. Sudah sejak tahun 1990an laki-laki itu menetapkan hati memilih pengrajin perak sebagai sandaran hidup. Sempat juga pada awal profesinya dulu sebagai pengrajin logam menekuni tembaga, namun karena merasa kurang bersih dan kotor setelah mengerjakan produksi lalu dia memilih perak sebagai sesuatu yang lebih menarik untuk ditekuninya. Mengingat perak memerlukan pengerjaan yang lebih halus dan tuntutan untuk kerapian serta kebersihan menjadikan tantangan tersendiri bagi pria berusia 38 tahun ini. Sudarman, begitu panggilan akrab laki-laki ini yang tinggal di Dusun Pelemgede, Desa Sodo, Kecamatan Paliyan Kabupaten Gunung Kidul. Sejak Bulan Februari tahun ini ada yang berubah dalam dirinya yaitu kemampuan yang berkembang dan wawasannya yang tambah luas, meskipun pekerjaan rutin yang dijalaninya tetap sama, pengrajin perak.
Memikirkan dua puluh enam anggotanya adalah tugas tambahan yang sudah dijalaninya selama satu tahun terakhir sebagai ketua kelompok “Manunggal”. Kelompok pengrajin perak ini terbentuk tahun 2001 yang lalu.Fungsi kelompok adalah menjadi wadah pengrajin untuk tukar menukar informasi dan saling membantu. Selain mengurus anak yang berusia 14 tahun dan satu istri, aktivitas rutin hariannya kalau bekerja di rumah biasanya mulai pukul 7.00- 11.30 WIB kemudian istirahat, Siang dilanjutkan lagi dari pukul 13.30-14.30. WIB. Kalau dikejar pesanan dan harus lembur biasanya dari pukul 19.00-24.00 WIB. Selain itu sebagai warga Dusun Pelemgede, juga tidak bisa lepas dari kegiatan-kegiatan sosial seperti kerja bakti dan rapat dusun. Ketika Jogja Heritage berkunjung untuk melakukan diskusi, Pak Sudarman sebagai ketua kelompok yang mengordinir anggotanya. Begitu pula setiap kali ada kegiatan dalam ”Program Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Pengembangan Kerajinan Perak di Desa Sodo, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul” yang bekerjasama dengan Yogyakarta-Central Java Community Assistance Program serta didanai oleh Australia Indonesia Partnership, Pak Sudarman yang selalu berdiri di depan untuk memimpin dan mengordinir rekan-rekannya.
Sebagai mitra yang juga ikut sebagai peserta dalam rangkaian kegiatan ”kehidupan yang berkesinambungan” yang sudah berjalan selama ini, Pak Darman tetap menjalankan profesinya sebagai pengrajin perak yang disetor ke Kotagede sebagai pemasukan utama keluarga. Adanya Program dari YCAP yang dilaksanakan oleh JHS dilaksanakan disela kegiatan yang tidak mengganggu pengrajin. Pelatihan desain, memampukan Pak Darman untuk mendesain sendiri dan merancang produk perak yang akan dihasilkan, jika dahulu ada keterbatasan jika memenuhi pesanan konsumen seperti jika harus menggunakan teknik polosan sekarang kendala tersebut sudah bisa diatasi. Pelatihan Manajemen KUB dan Manajemen Keuangan membantu Pak Darman dalam menyadarkan pengurusnya bahwa administrasi yang sudah dijalankan selama ini masih kurang informatif dengan bukti ketika instruktur ingin bertanya besarnya penjualan perbulan belum bisa terjawab karena administrasi yang tidak tercatat detil. Dengan adanya pelatihan pengurus diajari cara membukukan yang detil dan bisa memberikan informasi kepada pihak luar yang ingin mengetahuinya. Pelatihan pengemasan juga membuat para perempuan yang biasanya membantu suaminya mengerjakan isen-isen mempunyai keterampilan tambahan membuat pengemasan perak menjadi lebih tampak menarik dan pelatihan itu berguna ketika pameran produk yang membuat barang kelihatan lebih pantas diberi harga yang lebih tinggi. Setelah diajak studi banding ke Mirota Batik dan Omah Djogja, Pak Darman mulai punya gambaran kira-kira lokasi mana yang bisa mereka ajak kerjasama untuk memasarkan perak mereka sebab selama ini pemasaran menjadi kendala utama yang sering dikeluhkan para pengrajin.
Ada kepuasan tersendiri ketika Pak Darman bisa membuat kerajinan perak sesuai desain yang dia inginkan dan produk tersebut dpamerkan di beberapa pameran di Jogja Expo Center, Jakarta, Surabaya, dan terakhir di Ambarukmo Plaza Jogja. Dia juga bangga salah satu karyanya termuat di booklet yang dibuat JHS. Untuk menerima pesanan di luar pesanan dari Kotagede biasanya dia menarik ongkos tiap 10 gr Rp.12.000,- jika desainnya menurut dia standar, jika rumit dia menarik ongkos 13.000 per 10 gr. Namun ketika dia membuat desain sendiri dan bahan sendiri, tiap produk dia tarif 250% dari biaya produksi. Sehingga jika dia membandingkan bisa menjual sendiri produknya ke luar keuntungan yang diperoleh bisa lebih tinggi dan ini bisa lebih menyejahterakan pengrajin daripada mengerjakan pesanan dari Kotagede yang selama ini sudah dijalaninya. Misalnya saja tiap 1 gr jika mereka menjual Rp.10.000,- sudah memperoleh keuntungan Rp.3.800,- dengan perincian bahan Rp.5000.- dan ongkos pengrajin Rp.1200,- sehingga biaya produksi Rp.6.200,-. Biasanya dalam sebulan Pak Darman kalau tidak ”ngoyo” bisa mengerjakan 7-8 ons tapi kalau ngoyo bisa 1 kg perbulan. Bantuan alat-alat yang diberikan JHS juga meringankan biaya yang harus dia keluarkan untuk biaya perawatan dan pembelian peralatan.
Harapan Pak Darman setelah mendapat pelatihan dan mengikuti berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh JHS yang bermitra dengan YCAP serta didanai oleh AIP adalah bisa memanfaatkan itu semua untuk peningkatan kapasitas pribadi dan kelompok. Harapan ke depan adalah kelompok bisa memasarkan produk-produk mereka sendiri ke luar tanpa tergantung dari Kotagede. Juga kerjasama dengan berbagai pihak yang sudah dijalin selama ini tidak berhenti sampai di sini.

Rabu, 11 November 2009

Kerajinan Perak Teknik Baru Karya Pak Wiyanto

Sejak adanya program dari Jogja Heritage Society mitra dari Yogyakarta- Central Java Community Assistance Program (YCAP) di dusunnya, Pak Wiyanto mengalami beberapa perubahan yang positif dalam kehidupannya. Perubahan yang dianggapnya sebagai perubahan paling penting adalah wawasannya yang bertambah luas dan kemampuannya untuk mendesain sendiri kerajinan perak.
Bapak Wiyanto adalah seorang pengrajin perak yang tinggal di Dusun Pelemgede, Desa Sodo, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Lahir pada tanggal 7 Juni 1971, di usianya yang ke 38 tahun ini sudah mempunyai dua anak laki-laki yang pertama berusia 14 tahun dan yang kedua 2 tahun. Sejak Bulan Maret mengikuti Program Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Pengembangan Kerajinan Perak yang difasilitasi oleh Jogja Heritage Society mitra dari YCAP.
Program Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Pengembangan Kerajinan Perak ini didanai oleh Australia Indonesia Partnership. Tujuan program YCAP adalah untuk membantu masyarakat agar dapat mencapai perubahan positif jangka panjang yang mampu mengembangkan ketangguhan yang lebih baik dan mengurangi kerentanan yang ditandai dengan adanya perbaikan nyata dalam masyarakat, hubungan yang lebih baik dengan pihak luar, dan masyarakat lebih berdaya. Kegiatan yang dilaksanakan di Dusun Pelemgede antara lain adalah Peningkatan Kapasitas Pengrajin melalui: pelatihan desain, diversifikasi, dan finishing produk. Penguatan Kelompok melalui: pelatihan manajemen KUB, pemberian bantuan modal kelompok, pemberian bantuan peralatan produksi, dan melengkapi peralatan kelompok serta Kegiatan Pemasaran dan Promosi melalui: pameran, pembuatan booklet dan kartu nama. Kegiatan ini juga terfokus pada perempuan sehingga dalam setiap kegiatan diharapkan ada peserta perempuan.
Sejak Februari 2009 ketika JHS melaksanakan Fokus Grup Diskusi (FGD) untuk merencanakan program bersama kelompok dan tokoh masyarakat. Pak Wiyanto selalu tampil aktif dalam setiap pembicaraan dan usulan-usulannya banyak dijadikan acuan bagi anggota kelompok yang lain dan memberikan masukan yang sangat berarti bagi perumusan program yang akan dilaksanakan di Dusun Pelemgede. Bapak Wiyanto juga aktif dalam pelaksanaan pelatihan Desain, Diversifikasi, dan Finishing Produk. Setelah mengikuti 10 kali pertemuan dalam pelatihan ini, dia menjadi merasa “bodoh”. Bodoh di sini adalah bodoh yang positif sebab selama dia mengikuti pelajaran dan pelatihan semakin banyak wawasan dan pengetahuan yang didapat. Pelatihan ini menyadarkan dia bahwa pengetahuan yang dia miliki tentang seluk beluk perak belum apa-apanya dan masih banyak sekali hal yang dia belum tahu dan belum kuasai. Dahulu dia tidak bisa menggambar dan mendesain rancangan perak sendiri sebab gambar dan desain dari para pemesan, namun sejak mengikuti pelatihan desain tersebut dia sekarang bisa mendesain sendiri dan hasil karyanya menjadi juara pertama di kelas yang diikuti oleh 20 peserta pengrajin perak di Dusun Pelemgede. Selain mendapat pengetahuan, dari kegiatan ini Pak Wiyanto memperoleh tambahan peralatan untuk produksi seperti meja, kotak peralatan, kikir, tang, gergaji, dan peralatan produksi lainnya. Peralatan ini sangat menunjang produksi kerajinan peraknya dan juga mengganti alat yang beberapa sudah aus. Adanya bantuan blendes (mesin untuk membuat benang perak) juga meringankan kerja para pengrajin perak di Pelemgede. Meskipun awalnya sangat pusing sebab tidak pernah memegang pensil dan buku gambar sebab langsung praktek mengerjakan di bahan baku namun dia sekarang bisa mendesain sendiri dengan lancar dan mampu mengerjakan dengan teknik benang perak atau filigre maupun teknik polosan. Teknik kombinasi dengan batu juga diajarkan. Kemudian tentang finishing produk juga diajarkan bagaimana pewarnaan dengan Sn dan juga disarankan akan lebih baik jika menghitamkan perak dengan obat hitam yang bisa dibeli di Bali.
Setelah ada pelatihan dari JHS, sekarang Pak Wiyanto tidak lagi kuatir jika ada pesanan produk dengan desain menggunakan bahan perak lempengan, Ataupun mengerjakan dengan teknik polosan sebab sudah bisa membuatnya. Dulu dia hanya bisa mengerjakan pesanan perak hanya teknik filigre. Bantuan alat berupa blendes juga meringankan pengrajin dan membantu meningkatkan ketramplan sebab blendes (rolling mills) adalah adalah alat untuk membuat perak lambaran atau lempengan. Dulu alat ini belum ada dan pengrajin harus pergi ke Kotagede untuk membuat perak lambaran, sekarang para pengrajin bisa melambarkan perak di sekretariat kelompok. Para penrajin dulunya tidak pernah membuat perak polosan karena mereka belum punya alatnya. Sekarang dengan alat itu mereka benar-benar terbantu.
Keinginan Pak Wiyanto yang belum tercapai adalah ingin memasarkan sendiri produk-produk yang dihasilkan sebab selama ini sangat tergantung dengan Kotagede. Ingin sekali pergi ke Bali dan punya relasi bisnis perak di sana sehingga bisa menambah penghasilan keluarga dan menyejahterakan keluarga. Selama ini banyak cerita tentang daerah-daerah yang efektif untuk memasarkan perak tapi jika belum ke sana sendiri rasanya belum puas. Berkat program dari JHS pula pada bulan Agustus Pak Wiyanto mengikuti pameran di JEC. Dari pengalaman mengikuti pameran tersebut dia merasakan betapa persaingan penjualan perak di Jogja sangat ketat juga bisa melihat-lihat produk-produk kerajinan perak dari luar Jawa. Pengetahuan dan pengalamannya menjadi bertambah setelah mengikuti pameran tersebut. Harapannya juga kegiatan dari JHS dan YCAP tidak berhenti sampai di sini sebab masih banyak hal yang belum dikuasai pengrajin dan masih perlu pendampingan ke depan dan rasanya semua pelatihan masih berada pada tahap dasar dan dia masih perlu untuk diajari ke tingkat lanjutan agar lebih baik kualitasnya.

Kamis, 01 Oktober 2009

Babad Dalan


Setiap tahun sekali sehabis panen ada acara "Babat Dalan" untuk memperingati atau mengenang janji masyarakat setelah pulih sari pageblug. Kegiatan ini merupakan ritual agar warga desa bersih dari segala gangguan baik secara fisik maupun non fisik.

Makam Ki Ageng Giring III



Selain terdapat kerajinan perak, di Desa Sodo juga terdapat Makam Ki Ageng Giring III. Tempat ini biasa dikunjungi para peziarah. Sebab menurut sejarah dalam Kitab Babad Tanah Jawi yang disusun oleh W.L. Olthof tahun 1941 sosok Ki Ageng Giring merupakan tokoh pepunden Mataram yang diyakini oleh sementara masyarakat sebagai penerima wahyu Kraton Mataram. Waktu itu Ki Ageng Giring sedang memetik kelapa, lalu mendapat bisikan gaib yang dipercaya sebagai wangsit atau wahyu. “Barangsiapa bisa menghabiskan air kelapa ini dalam sekali teguk, dia akan menjadi Raja Mataram”. Namun karena belum haus benar kelapa itu diletakkan di pogo dapur rumahnya karena dia belum haus benar. Lalu berpesan keras pada istrinya agar kelapa itu jangan diapa-apakan. Kebetulan berkunjunglah Ki Ageng Pamanahan untuk bertamu, karena haus benar dia langsung menuju dapur dan menemukan kelapa itu kemudian diteguk sampai habis. Singkat cerita akhirnya Ki Ageng Pamanahan-lah yang menjadi Raja Mataram. Namun yang mendapat wahyu pertama kali adalah Ki Ageng Giring sehingga dalam nama Ki Ageng Giring tetap tidak bisa lepas dari sejarah Kraton Mataram. Secara kebetulan makam Ki Ageng Giring terletak di Desa Sodo, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul, atau sekitar 6 kilometer ke arah barat daya dari Kota Wonosari.

Kamis, 24 September 2009

Sejarah Berdirinya Kelompok Manunggal di Dusun Pelemgede


Beberapa warga asli Dusun Pelemgede dulu bekerja di sentra kerajinan perak di Kotagede. Selama bekerja di situ mereka belajar dan mendapat pengalaman tentang seluk beluk kerajinan perak. Setelah dirasa mampu membuat sendiri, sekitar tahun 1993 ada 4 orang pengrajin yang mulai merintis dengan mengerjakan kerajinan di rumah mereka di Dusun Pelemgede. Pesanan mulai banyak berdatangan sehingga bisa mencukupi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Semakin banyak pesanan tentu saja membutuhkan tenaga kerja semakin banyak kemudian beberapa tetangga mulai ikut membantu dan belajar tentang seluk beluk kerajinan perak dari 4 orang tadi. Setelah bisa, mereka kemudian mengerjakan di rumah masing-masing sehingga para pengrajin perak mulai bertambah jumlahnya di dusun ini. Sekitar tahun 2000 sudah ada 11 orang yang berprofesi sebagai pengrajin perak. Di tahun itu pula ada lembaga yang mengajak mereka memamerkan hasil karya mereka ke Jogja. Kemudian muncul gagasan untuk membentuk kelompok sebagai wadah para pengrajin perak di Dusun Pelemgede ini. Maka terbentuklah kelompok “Manunggal” yang mempunyai tujuan agar para pengrajin perak bisa bersatu. Sampai tahun 2009 sudah ada 40 orang warga dusun yang berprofesi sebagai pengrajin perak dan 26 diantaranya terdaftar sebagai anggota kelompok “Manunggal”.

Sekretariat Kelompok: Rumah Bapak Wartono
Dusun Pelemgede RT 02 RW 03, Desa Sodo, Kecamatan Paliyan, Kabupaten Gunung Kidul

Informasi dan Pemesanan bisa menghubungi perwakilan kelompok yaitu:
-Rokhim dengan nomor handphone 081904023641 atau
-Sudarman 081915564839

Untuk membuat kerajinan perak dengan menggunakan benang perak memerlukan beberapa proses. Tahapan-tahapan pembuatan kerajinan perak dengan teknik filigre sebagai berikut:
1. Pembuatan benang perak (ngurut)
Untuk membuat benang perak dari perak murni (acir) memerlukan beberapa tahapan proses. Pertama-tama bahan perak yang masih mentah (perak acir) dipanaskan dengan soldir sampai memerah kemudian dipanasi terus sampai meleleh. Setelah perak mencair kemudian dituang dalam alat cetak (singen). Setelah agak mengeras dan warna sudah tidak merah barulah perak tersebut dikeluarkan dari singen. Dalam kondisi masih lunak dengan diameter 0,5 cm ini, kemudian diperkecil ukurannya dengan menggunakan blendes (rolling mills) sampai ukuran terkecil kemudian diperkecil lagi dengan menggunakan draw plate atau urutan sesuai dengan ukuran benang perak yang diinginkan.


2. Mendesain (Ngrancang)
Yaitu membuat rancangan dari perhiasan atau kerajinan yang akan dibuat. Para pengrajin menentukan dulu desain seperti apa yang akan mereka kerjakan. Bisa dengan menggambar di atas kertas dengan menggunakan alat tulis seperti pensil atau bolpoint. Bisa dengan gambar atau foto dari kerajinan yang sudah ada. Bisa juga dengan mencontoh perhiasan yang sudah ada.
3. Membuat pola anyaman
Yaitu membuat bentuk-bentuk dasar dari perhiasan yang akan dibuat. Para pengrajin biasanya membuat blak (pola dasar dari bahan tembaga/ kuningan misal: bentuk daun, jantung hati, bintang, dan lain.lain) jika ingin membuat dalam jumlah yang banyak. Setelah blak jadi, maka benang perak ukuran yang paling besar yang dibuat pola dasar.
4. Membuat trap
Yaitu membuat bentuk-bentuk isian (isen-isen) yang nantinya akan dimasukkan dalam pola anyaman. Trap ini adalah bagian dalam pola dasar untuk mengisi ruang kosong menggunakan benang perak yang ukurannya lebih kecil dari pola anyaman. Trap ini bisa berbentuk garis, lengkungan, bentuk ikal, atau jala sesuai keinginan pengrajin atau pola desain awal.
5. Nyetel
Yaitu menggabungkan pola anyaman dan trap sesuai dengan desain yang ingin dibuat kemudian dipatri sampai bentuk jadi.
6. Finishing (Mbabar)
Yaitu proses memutihkan produk. Setelah bentuk sesuai desain awal, kemudian perak tersebut diputihkan dengan cara direbus dalam kenceng berisi air tawas agar warna asli perak muncul. Kemudian dipanasi lagi dengan solder dan gembosan, lalu direbus lagi sampai warna putih sesuai keinginan.
7. Nyangling (menyikat)
Yaitu proses membersihkan dan menghaluskan desain dengan menyikat dan mengamplas. Setelah selesai dicuci kemudian dikeringkan di bawah terik matahari. Setelah kering, produk lalu dikemas.


Produk-produk yang dihasilkan para pengrajin perak Dusun Pelemgede:
1. Gelang
2. Cincin
3. Kalung
4. Suweng
5. Anting
6. Bross
7. Liontin
8. Pilbox (kotak perhiasan)